HAMA, SEPINYA MUSIM SEMI DAN TEKNIK NUKLIR

MENGAPA BANYAK BERUBAH
Perubahan-perubahan lingkungan di kota yang sangat cepat bukan hal asing bagi kita, tapi marilah menengok ke pedesaan tempat usaha pertanian diselenggarakan. Tempat yang seharusnya aman ini ternyata tidak bebas dari pengaruh negatif pelaksanaan pemba-ngunan yang kurang bijak dan telah mengalami perubahan yang sangat memprihatinkan.
Bagi seorang anak petani seperti saya, dulu, ada dua musim saat pemandangan di pesawahan yang paling mengesankan. Pertama, saat menjelang panen. Ketika itu siangnya sawah adalah hamparan permadani padi yang menguning, sedangkan malamnya adalah lautan kunang-kunang berkelap kelip. Kedua, di pertengahan musim penghujan. Ketika itu petak-petak sawah penuh air, sementara di tengahnya petani tergesa-gesa membajak dan menggaru. Di sekitar bertebaran burung putih, kuntul dan blekok, yang tampak jinak sibuk mematuki katak dan ikan kecil yang berlompatan. Anak-anak kita sudah tidak mungkin lagi untuk menikmati pemandangan indah semacam itu, karena keadaan telah berubah. Burung-burung putih sudah menghilang entah ke mana. Petakan sawah dan saluran tersier yang dulu kaya ikan kecil siap untuk dipancing sekarang sudah mati tanpa penghuni. Nyanyian katak dan kelap-kelipnya kunang juga sudah tidak ada lagi.

Bagi yang tidak peduli, perubahan itu tentu bukan berarti apa-apa, akan tetapi bagi para pemerhati lingkungan semua ini adalah pertanda jaman yang mencemaskan. Hilangnya burung, ikan, katak dan kunang-kunang dari alam sekitar kita mempunyai banyak arti. Selain berarti kehilangan banyak keanekaragaman hayati, hal itu juga berarti bahwa lingkungan kita sudah tidak lagi sehat dan berkurang kelayakannya untuk dihuni. Lenyapnya mereka menunjukkan bahwa lingkungan kita sudah banyak tercemar racun, sehingga harus kita waspadai, seperti diungkap oleh seorang penulis terkenal RACHEL CARSON tahun 1962 dalam bukunya berjudul “Silent Spring,” Musim Semi yang Sepi.

Menurutnya kerusakan lingkungan seperti digambarkan di atas, sangat erat hubungannya dengan cara-cara pengendalian hama yang telah dilakukan. Dengan analisis yang tajam buku yang mendapat banyak penghargaan ini mengungkap betapa insektisida yang bertahun-tahun digunakan untuk memberantas berbagai jenis serangga perusak tanaman dan vektor penyakit di Amerika Serikat telah mencemari tanah, perairan dan bahkan produk pertanian sehingga lingkungan tidak lagi nyaman untuk dihuni. Karena bahan aktif insektisida yang digunakan adalah organokhlor yang bersifat persisten, maka pencemar itu tetap beracun selama bertahun-tahun. Terbawa air, menyebar ke mana-mana, dan melalui rantai makanan selama bertahun-tahun menjadi setan penyebar maut bagi berbagai jenis makluk di dalam ekosistem. Yang terbunuh bukan hanya binatang di kebun tempat insektisida diaplikasikan melainkan juga jauh di luarnya semisal burung elang di dalam hutan. Yang tercemar bukan hanya air dan tumbuhan tetapi juga susu sapi, bahkan sampai ke susu ibu.

“Silent Spring” berceritera tentang keadaan di Amerika, akan tetapi teknologi bersifat universal. Yang terjadi di Amerika terjadi juga di Indonesia. Pada masa Revolusi Hijau di tahun 1960-an pemerintah Indonesia mencanangkan Intensifikasi Massal Produksi Padi dengan memasyarakatkan Panca Usaha Tani, yang pada dasarnya adalah memasyarakatkan penggunaan teknologi baru untuk meningkatkan produktivitas. Petani selain dianjurkan menanam varitas unggul IRRI dan menaikkan dosis pemupukan juga dianjurkan menggunakan insektisida untuk memberantas hama. Saat itu untuk menga-mankan tanamannya petani dianjurkan menyemprot dengan insektisida secara terjadwal tanpa memperhatikan ada tidaknya hama. Untuk memperlancar program tersebut pemerintah mensubsidi sampai 90% harga insektisida agar petani mampu membeli.

Usaha keras pemerintah untuk meningkatkan produksi pangan nasional melalui program intensifikasi massal hasilnya tidak mengecewakan. Indonesia berhasil mencapai swa sembada pangan pada tahun 1980-an. Teknologi penggunaan insektisida diserap oleh petani, bahkan sejak itu demikian besar ketergantungan produksi pangan pada insektisida sampai-sampai bahan beracun tersebut telah dijadikan bahan jaminan bagi keberhasilan produksi pertanian. Bagi petani, bahkan bagi kebanyakan kita sekarang, pengendalian hama sudah identik dengan insektisida. Artinya, saat melihat hama seperti ulat, belalang atau wereng di sawah atau melihat semut, kecoa atau rayap di rumah yang terpikir pertama kali adalah bagaimana menyemprotnya dengan insektisida. Padahal pemberantasan hama dengan insektisida kimiawi ini bukan satu-satunya cara dan bukan cara yang ramah lingkungan. Akibatnya seperti diuraikan sebelumnya lingkungan dan produk pertanian kita menjadi tercemar, dan berbagai jenis binatang bukan sasaran ikut terbunuh. Masalah pengendalian juga menjadi semakin rumit karena timbulnya resistensi, resurgensi dan hama sekunder. Sudah seharusnya bila kita kemudian berusaha untuk mencari alternatif.

Akhir-akhir ini lingkungan telah menjadi masalah yang mendapat sorotan tajam. Meningkatnya tingkat pendidikan dan kesejahteraan telah menyebabkan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup dalam lingkungan yang sehat, bebas pencemar serta kaya dengan anekaragam hayati, dan pentingnya hanya mengkonsumsi sayuran dan buah yang sehat dan bebas residu insektisida. Berarti masyarakat sudah membutuhkan cara lain yang ramah lingkungan sebagai pengganti insektisida. Pengendalian hama teknik nuklir merupakan salah satu cara yang ramah lingkungan, sehingga diharapkan dimasa depan akan lebih banyak digunakan dalam melindungi produk pertanian dan menyehatkan masyarakat. Walaupun masih diperlukan banyak waktu untuk meyakinkan masyarakat, dan untuk melakukan banyak penelitian, kita optimis bahwa ada saatnya nanti teknik nuklir akan menyumbangkan perannya.

LETAK MASALAH
Serangga Hama.
Sebagai penghuni planet bumi sejak 100.000 tahun yang lalu, kita umat manusia (Homo sapiens) tidak sendiri, melainkan hanya salah satu saja di antara jutaan spesies makhluk lain, yang sudah jutaan tahun lebih dulu menghuni planet ini. Di tempat ini tiap-tiap spesies berusaha mengekspoitasi isi bumi yang ada di sekitarnya untuk meme-nuhi kebutuhan hidupnya, agar dapat mempertahankan keberadaannya. Karena adanya kesamaan kebutuhan, sementara sumber daya yang tersedia terbatas, maka terjadilah interaksi di antara spesies. Dan, di antara sekian spesies yang ada, yang paling banyak bersentuhan kepentingan dengan manusia adalah serangga, binatang yang dalam taksonomi dimasukkan ke dalam Kelas (Classis) Insekta atau Heksapoda. Kelompok binatang ini berukuran sangat kecil ber-kaki tiga pasang dan bersayap dua pasang. Beberapa spesies serangga ada yang hidup dengan mengisap darah kita, yang lain ada yang mengisap darah hewan piaraan kita, ada yang mengisap cairan tanaman kita, ada yang memakan daun tanaman kita, ada yang melubangi batang tanaman kita, memakan daging buah kita, bahkan ada yang di gudang menggerogoti hasil panen jerih payah kita. Mereka sangat merugikan. Berapa besar kerugian yang ditimbulkannya tidak pernah dapat diukur dengan pasti, hanya dapat diperkirakan bahwa lebih dari sepertiga produk pertanian hilang akibat serangan hama.

Selain itu, tidak sedikit spesies serangga yang menjadi penyebab bencana karena menjadi perantara bagi penularan penyakit kita. Mereka sering disebut sebagai vektor penyakit. Malaria dan demam berdarah yang akhir-akhir ini banyak merenggut nyawa manusia adalah dua di antara sekian banyak penyakit yang disebarkan oleh serangga vektor.

Semua spesies serangga tersebut adalah hama, atau organisme pengganggu. Karena keberadaannya sangat merugikan, dalam rangka menyelamatkan pangan dan menjaga kesehatan umat manusia bebagai macam cara dicari untuk memberantasnya.

Pengedalian Hama.
Ada berbagai macam cara atau taktik yang dapat dilakukan untuk memberantas atau mengendalikan hama. Secara popular cara tersebut dibagi berdasarkan sarana yang digunakan menjadi:
a. Pengendalian fisik/mekanik dengan menggunakan sarana fisik,
b. Pengendalian kultur teknis dengan mengatur cara bercocok tanam,
c. Pengendalian kimiawi dengan menggunakan bahan kimia beracun,
d. Pengendalian hayati atau biologis.dengan menggunakan makhluk hidup, yang terkenal menggunakan musuh alami seperti serangga parasit, predator dan pathogen hama.

Masing masing cara memiliki keunggulan dan kelemahannya sendiri-sendiri Saat ini, seperti telah diuraikan sebelumnya, yang paling populer adalah pengendalian kimiawi dengan menggunakan insektisida, karena dianggap efektif dan praktis untuk digunakan Kita akan meninjau lebih lanjut pengendalian cara ini.

Pengendalian dengan Insektisida Kimiawi.
Insektisida adalah bahan yang dapat digunakan untuk membunuh serangga. Insektisida kimiawi bahan aktifnya senyawa kimia, dapat berupa senyawa organik atau anorganik, senyawa alam atau sintetik. Akhir-akhir ini selain insektisida kimiawi sintetik berkembang juga insektisida nabati dengan bahan aktif ekstrak asal tumbuhan, dan insektida hayati dengan bahan aktif mikroba, cendawan, bakteri, virus atau nematoda. Insektisida biasanya diperdagangkan dalam bentuk tepung, cairan atau butiran.

Apapun bahan aktifnya, insektisida diaplikasikan dengan cara yang hampir sama yaitu dengan dicampur air kemudian disemprotkan menggunakan penyemprot (sprayer), dicampur tepung kemudian dihembuskan menggunakan pengembus (duster), atau dicampur carrier kemudian ditebarkan. Tujuannya sama yaitu menyebarkan racun bahan aktif ke seluruh daerah sasaran pengendalian. Jadi berapapun jumlah hama yang ada di lapangan, daerah sasaran tersebut harus “ditutup” dengan bahan aktif insektisida dengan harapan akan mengenai dan membunuh hama yang ada.

Sebenarnya insektisida sudah dikenal sejak jaman kuno. Menurut FLINT dan van den BOSH bangsa Samaria sudah menggunakan belerang untuk mengendalikan serangga dan tungau pada 2500 SM, sedangkan bangsa Cina sudah menggunakan bahan kimia asal tanaman, yang sekarang dikenal sebagai botanical insecticide pada 1200 SM. Namun penggunaan insektisida modern yaitu insektisida kimia sintetik seperti yang kita kenal sekarang baru dimulai sejak ditemukan dan diproduksinya DDT (Dikloro Dipenil Trikloroetan) tahun 1939.

Senyawa ini adalah racun kontak yang sangat efektif. Semula banyak digunakan untuk mengendalikan hama vektor penyakit dan telah berjasa mencegah wabah (epidemi) penyakit berbahaya seperti tipus dan malaria, sebelum kemudian populer untuk mengendalikan hama pertanian.. Di tahun 1940–an ribuan orang di berbagai negara terselamatkan oleh DDT sehingga pada tahun 1948 PAUL MULLER sebagai penemunya mendapat hadiah Nobel. Bahan-bahan aktif lain segera ditemukan dan diproduksi, dari kelompok senyawa organoklor diproduksi di antaranya BHC, Endrin dan Aldrin, dari kelompok organofosfat Malation, Dimetoat, Paration dan Diazinon, dari kelompok karbamat Karbaril, Metomil dan Karbofuran, dan dari kelompok piretroid Permetrin dan Sipermetrin dll. Karena keunggulannya DDT dan insektisida kimia sejenis menjadi demikian popular sehingga insektisida modern lainnya menyusul. Industri insektisida berkembang sejak itu. Cepat populernya penggunaan insektisida modern karena beberapa keunggulan yang dimiliki, yaitu karena sangat efektif untuk membunuh serangga, dan penggunaannya sangat mudah sehingga dapat diaplikasikan hampir oleh setiap orang. Karena mampu membunuh hama dengan cepat insektisida kimia dapat digunakan untuk menyelamatkan pertanaman, saat hama sudah menyerang.

Banyak orang mengumpamakan masalah pemberantasan hama sebagai perang tanpa akhir antara manusia dengan serangga. Umat manusia, karena kepentingannya terusik berusaha membunuh di manapun ditemukan serangga perusak. Sementara serangga hama terus bertahan dan menyerang berbagai kepentingan manusia. Semula, dengan ditemukannya insektisida modern yang demikian efektif, timbul rasa optimis bahwa perang akan segera usai dengan umat manusia keluar sebagai pemenang.

Dampak Pengendalian dengan Insektisida.
Namun optimisme itu segera terpatahkan. Senjata baru ini ternyata memiliki beberapa kelemahan. Beberapa tahun setelah penggunaannya efektifitas insektisida makin lama makin menurun sehingga dosisnya harus selalu dinaikkan. Ternyata hama yang diberantas manjadi semakin tahan terhadap jenis insektisida yang digunakan. Bila insektisida diganti hama kembali menjadi tahan terhadap insektisida yang baru. Pada tahun 1947 saja sudah dilaporkan adanya populasi lalat rumah Musca domestica di Swiss, nyamuk Culex pipiens di Italia, Aedes sollicitans di Florida AS yang tahan terhadap DDT. Jumlah spesies serangga yang dilaporkan tahan insektisida semakin banyak sehingga mencapai 224 spesies di tahun 1970, 364 spesies di tahun 1975, dan 428 spesies di tahun 1980. Jumlah ini terus bertambah dari tahun ke tahun.

Kemudian ternyata bahwa penggunaan insektisida terus-menerus menimbulkan beberapa masalah lingkungan. Insektisida yang digunakan sebagian besar memiliki daya racun yang bersifat broad spectrum, meracuni banyak jenis makhluk. Karena itu sewaktu diaplikasikan bukan hanya hama sasaran melainkan hampir semua jenis binatang di daerah sasaran ikut terbunuh. Mudah larut dalam air bahan aktif insektisida kemudian mencemari sistem perairan menyebar ke mana-mana, dan melalui rantai makanan menyebar ke dalam tubuh berbagai jenis organisme. Yang masuk ke dalam tanaman pertanian menjadi residu yang berbahaya bagi konsumen, sementara yang sedikit demi sedikit menumpuk dalam tubuh dapat menyebakan keracunan kronis. Beberapa jenis binatang pemangsa mengumpulkan bahan aktif insektisida di dalam tubuhnya melalui proses magnifikasi ini. Masalah pencemaran dan keracunan ini diperparah karena banyak bahan aktif insektisida, terutama organokhlor yang bersifat persisten, berarti daya racunnya awet karena tidak mudah rusak oleh cuaca. Menghilangnya beberapa jenis binatang dari lingkungan kita, seperti dikeluhkan di awal tulisan ini, terjadi di mana-mana.

Penyemprotan insektisida terus menerus juga menyebabkan resurgensi pada hama, yaitu suatu fenomena dimana setelah penyemproten insektisida hama menjadi lebih merusak karena mampu berkembang biak lebih cepat dibanding sebelumnya, sebagai akibat dari terbunuhnya berbagai musuh alami yang selama ini menjadi penekan populasi Tahun 1980 telah dilaporkan adanya resurgensi pada 50 spesies hama akibat penggunaan DDT, BHC, Aldrin dan Paration. Munculnya hama baru di Indonesia seperti wereng coklat Nilapaevatta lugens dan wereng hijau Nephotettix virensence pada tahun 1970-an di Indonesia termasuk di antaranya. Masih ada fenomena lain yaitu timbulnya hama sekunder. Beberapa spesies serangga walaupun memakan tanaman, karena populasinya sangat rendah, tidak dianggap sebagai hama karena kerusakan yang ditimbulkannya sangat tidak berarti. Rendahnya populasi spesies ini erat hubungannya dengan adanya musuh alami yang selalu menekannya. Namun akibat penyemprotan yang banyak membunuh musuh alami, spesies ini populasinya meningkat dan menimbulkan kerusakan. Hama ini dikenal sebagai hama sekunder. Penggunaan insek-tisida ternyata menyebabkan masalah hama semakin rumit.
Dekade kelima dari abad ke-20 dan sesudahnya dianggap sebagai masa keemasan insektisida. Pada masa itu industri insektisida berkembang sangat pesat Namun karena hal tersebut di atas, METCALF kemudian membagi masa keemasan insektisida menjadi beberapa tahap: Tahap Optimis yaitu masa dimana insektisida menunjukkan banyak peran dalam memecahkan masalah hama di mana-mana, terjadi antara tahun 1946–1962. Beralih menjadi Tahap Ragu antara tahun 1962–1976, yaitu ketika ternyata ditemukan gejala resistensi dan resurgensi hama, dan pencemaran lingkungan di mana-mana. Sesudahnya adalah Tahap Ubah Strategi yaitu mulai dicarinya konsep-konsep baru dalam pengendalian hama.

WAKTUNYA BERGANTI ARAH
Setelah mengurai berbagai pengaruh negatif dari penggunaan insektisida, sebagai penutup “Silent Spring” membuat bab berjudul :” The Other Road” atau “ Jalan Lain”, yang intinya menganjurkan kita untuk nenggunakan cara lain sebagai pengganti. Dalam pembukaan bab ini kurang lebih dikatakan:

Sekarang kita berada di ujung jalan yang bercabang. Akan tetapi, tidak seperti jalan dalam puisinya Robert Frost yang terkenal itu, kedua jalan yang ada dihadapan kita tak sama. Yang satu lanjutan jalan utama yang sudah kita tempuh bertahun-tahun, adalah jalan yang sangat mudah, jalan bebas hambatan yang mulus dimana kita dapat melaju dengan kecepatan tinggi, akan tetapi diujungnya terhampar bencana. Yang lain adalah jalan cabang sempit, yang jarang ditempuh orang, akan tetapi menawarkan keabadian. Ini adalah satu-satunya jalan yang memberi kesempatan untuk sampai ketujuan yang menjamin terpeliharanya bumi yang kita huni. Berpulang ketangan kita, jalan mana yang akan kita tempuh.

Yang dimaksud jalan cabang yang kecil, sulit dan jarang ditempuh orang itu adalah beberapa metode pengendalian yang ramah lingkungan. Terdiri dari cara-cara pengendalian yang semuanya bersifat biologis atau hayati, karena alih-alih menggunakan bahan kimia beracun yang ampuh, semuanya menggunakan makhluk hidup. Diakuinya bahwa cara-cara baru ini bukan cara yang mudah. Yang pertama disebut oleh CARSON adalah teknik serangga mandul (TSM), yang merupakan salah satu teknik nuklir karena serangga dapat dimandulkan dengan iradiasi gamma. Yang lain adalah penggunaan parasit, predator dan patogen untuk menekan populasi hama.

Bagian Awal dari Orasi Ilmiahku dalamPengukuhan APU (Prof. Riset)

Komentar

  1. Casino - Newest New Slots in December 2021
    Experience Las 고양 출장마사지 Vegas' best new slots on the market this Christmas! 밀양 출장안마 Play and 경기도 출장안마 win the 서산 출장샵 best bonus! 의정부 출장안마 Play Now. Try the game. Try to win Cash prizes

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGENDALIAN HAMA LALAT BUAH PRA DAN PASCA PANEN DENGAN TEKNIK IRADIASI

LALAT BUAH BACTROCERA CARAMBOLAE (DREW & HANCOCK) DAN B. PAPAYAE (DREW & HANCOCK) DALAM BEBERAPA JENIS BUAH DI INDONESIA

PENANGGULANGAN MASALAH HAMA LALAT BUAH DI INDONESIA DENGAN TEKNIK SERANGGA MANDUL (TSM)