PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP KEMAMPUAN KAWIN DAN BERBIAK LALAT BUAH BACTROCERA CARAMBOLAE (DREW & HANCOCK)

Rachmia Widyiana 1) dan Achmad Nasroh. Kuswadi 2)

1) Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.
2) Pusat Aplikasi teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR) – BATAN, Jakarta
anakuswa@hotmail.com


ABSTRACT

EFFCT OF GAMMA IRRADIATION ON THE PROPENSITY OF BACTROCERA CARAMBOLAE (DREW & HANCOCK) FRUIT FLY TO MATE AND REPRODUCE. Sterile fruit flies to be released in the Sterile Insect Technique (SIT) control programme may be obtained by irradiation of the pupae. In order to observed the effect of irradiation on the capacity of B. carambolae fruit flies to mate and reproduce, male irradiated flies were paired with normal female, and female irradiated with normal male. In each pairing, number of successful matings, and number eggs produced (fecundity) and fertility the eggs were recorded. The results showed that the mating capacity of the irradiated flies of both sexes reduced from 100 percent (control) to between 90 – 80 percent in adults emerged from pupae irradiated with 30 – 120 Gy. Irradiation also reduced the capacity of the male flies to remate, on the other hand it increased those of the females. Radiation at the doses of 30, 60, 90 and 120 Gy caused the fecundity of the normal female flies paired with irradiated male reduced from 1700 (control) to 1051, 1023, 947 and 880 respectively, while those of the reversed pairing reduced drastically to only 29, 9, 3 dan 5 respectively. The fertility of the above parings were 8.6, 1.8, 0 and 0 percent, and 4.3 , 3.1, 0 and 0 percent, respectively.

Key words: frui fly, B. carambolae, SIT, mating, fecundity and fertility.

ABSTRAK

PENGARUH IRADIASI GAMMA TERHADAP KEMAMPUAN KAWIN DAN BERBIAK LALAT BUAH BACTROCERA CARAMBOLAE (DREW & HANCOCK). Lalat mandul yang digunakan dalam pengendalian hama lalat buah dengan teknik serangga mandul (TSM) dapat diperoleh dengan cara meradiasi kepompongnya. Untuk mengetahui pengaruh iradiasi tersebut terhadap kemampuan lalat B. carambolae dewasa untuk kawin dan berbiak, jantan radiasi dipasangkan dengan betina normal dan betina radiasi dengan jantan normal, untuk kemudian diamati selama seminggu jumlah lalat yang melakukan perkawinan, jumlah dan fertilitas telur yang dihasilkannya. Hasilnya menunjukkan bahwa radiasi pada iradiasi dosis 30 – 120 Gy menurunkan kemampuan kawin lalat jantan dan betina dari 100 persen (kontrol) menjadi antara 90 – 80 persen. Radiasi juga menurunkan kemampuan lalat betina untuk melakukan remating namun sebaliknya menaikkan kemampuan remating lalat jantannya. Radiasi dosis 30, 60, 90 dan 120 Gy menyebabkan fekunditas lalat betina normal yang kawin dengan jantan radiasi turun dari 1700 butir menjadi berturut-turun 1051, 1023, 947 dan 880 butir, sedangkan fekunditas pasangan betina radiasi dan jantan normal nya menurun drastic menjadi adalah berturut-turut 29, 9, 3 dan 05 butir. Fertilitas dari pasangan tersebut diatas turun menjadi berturut-turut 8,6 , 1,8, 0 dan 0 persen, dan 4,3 , 3,1, 0 dan 0 persen.

Kata kunci : lalat buah, TSM, perkawinan, remating, fekunditas dan fertilitas.


PENDAHULUAN

Secara ekonomis beberapa spesies Bactrocera merupakan hama penting yang berasosiasi dengan berbagai buah-buahan dan sayuran tropika. Lalat buah ini menyerang tanaman komersial seperti sayuran dan buah-buahan berdaging antara lain belimbing, mangga, jeruk, nangka, melon, kluwih, dan cabai (1). Kerusakan yang ditimbulkan men-jadi ancaman pengembangan bagi sentra-sentra produksi buah di berbagai propinsi (2).
Pengendalian lalat buah dapat dilakukan baik secara fisik, kimia maupun hayati. Di Indonesia pengendalian dilakukan secara fisik yaitu dengan cara pembungkusan buah. Teknik ini memiliki kelemahan yaitu membutuhkan banyaknya tenaga kerja sehingga kurang efektif dan efisien untuk usaha skala besar. Pengendalian dengan menggunakan bahan kimia yang dilakukan juga memiliki kelemahan yaitu dapat menimbulkan kerusakan lingkungan serta besarnya biaya yang diperlukan. Akibat penyemprotan secara terus menerus mengakibatkan serangga menjadi resisten dan terbunuhnya musuh alami (3). Metode pengendalian secara hayati dapat dilakukan dengan menggunakan Teknik Serangga Mandul (TSM). Metode TSM ini telah dikembangkan di PATIR – BATAN. Dalam metode ini, lalat buah yang telah dimandulkan dilepas ke kebun agar dapat bersaing kawin dengan lalat fertil. Hanya perkawinan antara lalat betina dan jantan fertil saja yang dapat menghasilkan keturunan, maka pelepasan lalat mandul dapat menurunkan populasi hama ini pada generasi berikutnya (4). Keberhasilan TSM untuk mengendalikan hama lalat buah sudah dibuktikan di banyak negara seperti Amerika, Jepang, dan Meksiko. Di negara yang sedang berkembang seperti di Filipina dan Thailand, program pengendalian lalat buah dengan TSM sedang berjalan. Oleh karena itu, sangat besar kemungkinannya bahwa TSM juga akan berhasil bila diterapkan untuk mengendalikan hama lalat buah di Indonesia (3).
Salah satu cara pemandulan serangga dapat dilakukan dengan cara penyinaran sinar radioaktif. Penyinaran radiasi yang umum dilakukan adalah pada fase pupa, fase saat terjadinya transformasi organ-organ muda menjadi organ dewasa yakni terjadi pembentukan sperma dan telur (5). Radiasi sebaiknya dilakukan pada akhir fase pupa karena pada fase tersebut jaringan telah terbentuk hampir mendekati sempurna (6).
Kemampuan kawin lalat buah adalah aspek penting dalam program pengendalain hama dengan TSM. Misalnya, frekuensi perkawinan betina akan berdampak langsung pada efisiensi TSM sebagai alat pengendalian dan eradikasi lalat buah (7). Pengaruh radiasi sinar gamma terhadap kemampuan kawin serta fekunditas dan fertilitas yang terjadi pada lalat buh B. carambolae radiasi belum banyak dilaporkan sehingga perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut.

BAHAN DAN METODE

Bahan: Lalat buah yang digunakan adalah koloni Bactrocera carambolae labora-torium dari kelompok Hama di Pusat Aplikasi teknologi Isotop dan Radiasi (P3TIR) – BATAN Jakarta. Koloni tersebut telah dipelihara selama kurang lebih 30 generasi dengan makanan buatan. Untuk larva makanan terbuat dari campuran sekam gandum, gula pasir, ragi roti, nipagin dan asam askorbat, sedangkan untuk lalat dewasa adalah campuran gula pasir dan yeast hidrolysate.
Alat : Gamma Shell, kurungan ukuran 15 x 15 x 15 cm, kurungan ukuran 30 x 30 x 30 cm, dan mikrokup stereo
Perlakuan Iradiasi: Kepompong dengan umur seragam 9 hari (satu hari menjelak eklosi), masing-masing sebanyak 10 ml dimasukkan ke dalam tabung plastic (30 ml). Dibuat perlakuan iradiasi dosis 0, 30, 60, 90 dan 120 Gy masing measing denga empat kali ulangan. Setelah iradiasi masing-masing kelompok kepompong diletakkan di dalam kurungan ukuran 30 x 30 x 30 cm. Pada umur 1 - 2 hari, lalat dewasa yang muncul dipisahkan antara jantan dan betinanya untuk kemudian digunakan dalam pengamatan lebih lanjut.
Pengamatan kemampuan kawin. Untuk mengamati kemampuan kawin imago lalat buah radiasi dibuat perlakuan seperti pada Tabel 1. Pemasangan dilakukan dalam kurungan ukuran 15 x 15 x 15 cm, ketika lalat berumur kurang dari tiga hari.
Table 1. Pemasangan lalat dalam pengamatan kemampuan kawin lalat buah radiasi

Perlakuan

Pasangan lalat
Jumlah Pasangan
Jantan
Betina
1
0 Gy
0 Gy
10 pasang
2
30 Gy
0 Gy
10 pasang
3
60 Gy
0 Gy
10 pasang
4
90 Gy
0 Gy
10 pasang
5
120 Gy
0 Gy
10 pasang
6
0 Gy
30 Gy
10 pasang
7
0 Gy
60 Gy
10 pasang
8
0 Gy
90 Gy
10 pasang
9
0 Gy
120 Gy
10 pasang

Masing-masing perlakuan diulang 3 kali. Pengamatan kawin dilakukan secara visual pukul 17.00 – 23.00 mulai imago berumur 4 hari, dalam waktu 7 hari. Setiap pengamatan dicatat jumlah pasangan yang kawin, saat dan lamanya kawin, Lalat yang telah melakukan perkawinan dipindah, untuk dipasangkan kembali dengan lalat normal yang belum kawin, untuk mengetahui terjadinya kawin yang kedua kalinya (re-mating). Untuk membuktika apakah telah terjadi transfer sperma setelah perkawinan dilakukan pembedahan tubuh serangga betina, yang diambil secara acak, untuk mengamati bagian spermatheca nya.
Pembedahan dilakukan dibawah mikroskop stereoskopik dengan menggunakan pinset dan gunting bedah. Apabila terjadi perkawinan maka akan terlihat spermateka berwana keruh karena terjadi transfer sperma dari jantan ke betina. Akan tetapi jika tidak terjadi perkawinan maka spermateka berwarna bening transparan karena tidak terjadi transfer sperma dari jantan ke betina.
Pengamatan fekunditas imago betina. Imago B. carambolae yang telah diradiasi sesuai perlakuan dimasukkan dalam sangkar perlakuan berukuran 15 x 15 x 15 cm. Pada hari ke-10 ke dalam kurungan dimasukkan botol peneluran, yaitu botol film yang telah diberi lubang kecil-kecil, yang di dalamnya berisi spon jenuh air. Setelah 24 jam botol peneluran diambil dan diharapkan dalam botol tersebut terdapat telur B. carambolae. Pemasangan botol film dilakukan setiap 3 hari sekali selama 2 minggu. Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui kemampuan bertelur dari betina radiasi yang dipasangkan dengan jantan normal maupun dari betina normal yang dipasangkan dengan jantan radiasi.
Pengamatan fertilitas imago. Fertilitas imago betina dapat diketahui dengan mengamati berapa besar jumlah persentasi telur yang dapat menetas menjadi larva. Perhitungan jumlah telur yang menetas dilakukan dengan mengambil 100 telur. Telur diletakkan di atas cawan petri yang beralaskan kertas hitam untuk mempermudah pengamatan dan kapas jenuh air. Jumlah telur yang menetas selama 48 jam kemudian diamati dengan lup kemudian di hitung hasilnya. Telur yang sudah menetas terlihat lebih transparan, yang belum meneteas berwarna putih.
Untuk menghitung persentase telur yang menetas digunakan rumus:
P = x 100%
Dimana : P = Persentase tetas
a = Jumlah telur yang menetas menjadi larva
b = Total telur yang diamati
Penelitian disusun berdasarkan rancangan acak kelompok (RAK) yang terdiri dari 9 perlakuan dan masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali, dsab data yang diperoleh dianalisis dengan analisis ragam apabila terdapat perbedaan yang nyata maka dilanjutkan dengan uji BNT taraf 5 %.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kemampuan Kawin Lalat Radiasi. Pengamatan yang mulai dilakukan pada imago berumur 4 hari dari pukul 17.00-23.00 diketahui bahwa lalat buah B. carambolae sudah mampu kawin pada umur 7 hari, tetapi tidak semua pasangan dari tiap-tiap perlakuan dapat melakukan perkawinan pada hari yang sama. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa dengan meradiasi pupa pada dosis berbeda dapat memberi pengaruh yang berbeda terhadap kemampuan kawin imago lalat buah B. carambolae. Rata-rata persentase perilaku kawin lalat buah B. carambolae disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Persentase kawin pasangan B. carambolae betina radiasi dengan jantan normal dan pasangan B. carambolae betina normal dengan jantan radiasi.

Perlakuan
Rata-rata kawin (mating) B. carambolae (%)
♀ N x ♂ N (kontrol)
100 c
♀ 30 Gy x ♂ N
90 b
♀ 60 Gy x ♂ N
86,667 ab
♀ 90 Gy x ♂ N
83,333 ab
♀ 120 Gy x ♂ N
83,333 ab
♀ N x ♂ 30 Gy
90 b
♀ N x ♂ 60 Gy
86,667 ab
♀ N x ♂ 90 Gy
86,667 ab
♀ N x ♂ 120 Gy
80 a

Tabel 3. menunjukkan bahwa semua (100 %) lalat normal melakukan perkawinan selama 7 hari pengamatan. Berdasarkan Tabel 3, diketahui bahwa kemampuan kawin pasangan B. carambolae betina radiasi dosis 30 Gy, 60 Gy, 90 Gy, dan 120 Gy dengan jantan normal tidak terlihat adanya perbedaan yang nyata (antara 83,3 – 90 %), tetapi terdapat beda nyata jika dibandingkan dengan kontrol. Demikian juga halnya pada pasangan B. carambolae betina normal dengan jantan radiasi dosis 30 Gy, 60 Gy, 90 Gy, dan 120 Gy terlihat adanya beda nyata dengan kontrol terhadap perilaku kawinnya. Pada pasangan betina normal dan jantan radiasi 120 Gy kemampuan kawinnya sangat rendah, ini mungkin disebabkan karena terjadi kelainan somatis yaitu kerusakan pada sayap yang mengakibatkan kemampuan terbang lalat jantan radiasi berkurang sehingga lalat tersebut tidak memiliki kemampuan untuk menarik perhatian betina. Ini berarti serangga radiasi mempunyai daya saing kawin yang rendah dibandingkan dengan serangga normal. Fried (8) mengemukakan bahwa ketidakmampuan kawin dapat terjadi pada serangga jantan maupun betina, selain dapat merusak sel kelamin radiasi juga dapat merusak sel somatik sehingga serangga menjadi lemah dan tidak mampu melakukan perkawinan dengan baik. Hal tersebut mengakibatkan serangga radiasi mempunyai daya saing perkawinan yang rendah dibandingkan dengan serangga normal.
Selanjutnya hal yang terpenting dalam komponen perilaku kawin dari program TSM adalah perkawinan yang kedua (re-mating) (9). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa dengan meradiasi pupa pada dosis berbeda dapat memberi pengaruh yang berbeda terhadap perkawinan kedua (re-mating) imago B. carambolae. Rata-rata persentase “re-mating” lalat buah B. carambolae dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Persentase perkawinan kedua (re-mating) pasangan B. carambolae betina radiasi dengan jantan normal belum kawin dan pasangan B. carambolae jantan radiasi dengan betina normal belum kawin (virgin).

Perlakuan
Rata-rata kawin kedua (re-mating) B. carambolae (%)
♀ N x ♂ N (Kontrol)
43,333 c
♀ 30 Gy x ♂ N
13,333 b
♀ 60 Gy x ♂ N
13,333 b
♀ 90 Gy x ♂ N
0 a
♀ 120 Gy x ♂ N
0 a
♀ N x ♂ 30 Gy
90 e
♀ N x ♂ 60 Gy
86,667 d
♀ N x ♂ 90 Gy
86,667 d
♀ N x ♂ 120 Gy
80 d

Pada Tabel 3 diketahui bahwa perkawinan kedua (re-mating) tidak terlihat berbeda nyata pada betina B. carambolae radiasi dosis 30 Gy dan 60 Gy yang dipasangkan dengan jantan normal belum kawin, begitu juga halnya pada betina radiasi dosis 90 Gy dan 120 Gy yang dipasangkan dengan jantan normal belum kawin “re-mating” tidak terlihat berbeda nyata.
Bahkan dari pengamatan yang dilakukan “re-mating” tidak terjadi pada pasangan betina radiasi dosis 30 Gy dan 120 Gy dengan jantan normal belum kawin. Namun jika dibandingkan dengan kontrol “re-mating” pada betina radiasi yang dipasangkan dengan jantan normal belum kawin terdapat perbedaan yang nyata. Pemberian radiasi sinar gamma dengan dosis berbeda memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap persentase “re-mating” jantan radiasi B. carambolae. Persentase “re-mating” terlihat berbeda nyata jika dibandingkan pada “re-mating” betina radiasi maupun kontrol. Lalat jantan radiasi dengan dosis 30 Gy, 60 Gy, 90 Gy, dan 120 Gy dapat melakukan “re-mating” pada pasangan betina baru yang belum kawin. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hatmosoewarno (1972) yang menyebutkan bahwa serangga jantan sebaiknya kawin lebih dari satu kali sehingga jantan radiasi dapat mengawini sejumlah besar betina normal.
Dari pengamatan yang dilakukan dengan cara membedah bagian tubuh abdomen betina lalat buah B. carambolae dibawah mikroskor steroskopik perbesaran 40 kali didapatkan bahwa pada betina normal yang melakukan perkawinan dengan jantan normal (kontrol) ditemukan sepasang ovarium membesar yang berisi telur serta spermateka yang berwarna keruh karena terjadi transfer sperma dari jantan ke betina. Hal ini bebeda dengan betina B. carambolae yang tidak melakukan perkawinan, spermateka yang ditemukan berwarna bening transparan karena tidak terjadi transfer sperma dan ovarium tidak membesar namun sudah terdapat telur didalamnya.
Pada betina radiasi yang melakukan perkawinan dengan jantan normal ditemukan sepasang ovarium tidak membesar namun sudah terdapat telur didalamnya dan spermateka berwarna keruh karena terjadi transfer sperma dari jantan ke betina. Pada betina normal yang melakukan perkawinan dengan jantan radiasi ovarium dan spermateka yang ditemukan sama seperti pada betina kontrol yaitu ditemukan sepasang ovarium membesar yang berisi telur dan spermateka berwarna keruh karena terjadi transfer sperma dari jantan ke betina.
Fekunditas Lalat Radiasi . Fekunditas adalah jumlah telur yang dihasilkan oleh imago betina. Perhitungan fekunditas pada betina radiasi yang dipasangkan dengan jantan normal maupun pada betina normal yang dipasangkan dengan jantan radiasi perlu dilakukan untuk mengetahui kemampuan bertelurnya lalat buah terhadap dosis yang diberikan.
Hasil pengamatan setelah dilakukan analisis ragam menunjukkan bahwa dengan pemberian dosis radiasi yang berbeda dapat memberi pengaruh terhadap jumlah telur yang dihasilkan oleh imago betina B. carambolae. Rata-rata jumlah telur yang dihasilkan oleh imago betina B. carambolae dapat dilihat dalam Tabel 4.
Tabel 4. Jumlah telur yang dihasilkan oleh pasangan B. carambolae betina radiasi yang dikawinkan dengan jantan normal dan pasangan betina normal yang dikawinkan dengan jantan radiasi.

Perlakuan
Jumlah telur yang dihasilkan (fekunditas) B. carambolae
♀ N x ♂ N (kontrol)
1702,5 c
♀ 30 Gy x ♂ N
28,75 a
♀ 60 Gy x ♂ N
9 a
♀ 90 Gy x ♂ N
2,75 a
♀ 120 Gy x ♂ N
0,5 a
♀ N x ♂ 30 Gy
1051,25 b
♀ N x ♂ 60 Gy
1023, 25 b
♀ N x ♂ 90 Gy
947,5 b
♀ N x ♂ 120 Gy
880,25 b
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada betina radiasi dosis 30 Gy, 60 Gy, 90 Gy, dan 120 Gy yang dikawinkan dengan jantan normal tidak berbeda nyata terhadap fekunditas. Begitu juga pada betina normal yang dikawinkan dengan jantan radiasi dosis 30 Gy, 60 Gy, 90 Gy, dan 120 Gy tidak berbeda nyata terhadap fekunditas. Fekunditas pada pasangan betina normal dengan jantan radiasi masih cukup tinggi tetapi hasil ini masih berbeda nyata dengan fekunditas pada kontrol..
Faktor yang menyebabkan berkurangnya jumlah telur pada betina akibat pemberian dosis radiasi yang semakin besar, kemungkinan karena meningkatnya kerusakan pada sel telur atau sel-sel nutritif (sel troposit) yang terdapat di dalam ovarium. Pupa yang digunakan adalah pupa yang diradiasi pada umur 10 hari atau 1 hari sebelum eklosi, pada saat itu perkembangan organ-organ dalam tubuh serangga khususnya ovarium sudah mendekati sempurna sehingga sel telur muda sudah terbentuk dan pada umur 11 hari pupa sudah menetas menjadi imago (11). Rusaknya sel telur dan sel troposit dapat mengakibatkan penurunan fekunditas, karena kerusakan pada sel tersebut dapat menghentikan proses proses pembentukan telur. Kerusakan sel telur yang sangat parah dapat menyebabkan infekunditas permanen sedangkan pada sel troposit mengakibatkan tidak tersedianya makanan untuk pertumbuhan dan perkembangan dalam oogenesis (5)
Fertilitas Lalat Radiasi. Fertilitas adalah kemampuan dalam menghasilkan keturunan yang dapat dilihat dengan cara menghitung jumlah telur yang menetas menjadi larva. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa radiasi sinar gamma memberikan pengaruh nyata terhadap fertilitas telur imago betina lalat buah B. carambolae. Rata-rata persentase fertilitas telur pada imago betina lalat buah B. carambolae dapat dilihat dalam Tabel 5.
Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa dengan pemberian dosis radiasi yang berbeda terdapat pengaruh berbeda nyata terhadap fertilitas telur betina radiasi yang dikawinkan dengan jantan normal. Pada betina B. carambolae radiasi dengan dosis 60 Gy, 90 Gy, dan 120 Gy yang dikawinkan dengan jantan normal tidak terlihat beda nyata terhadap fertilitas telurnya. Kemampuan telur untuk menetas menurun pada pasangan betina radiasi dosis 60 Gy dengan jantan normal, sehingga pada dosis tersebut merupakan dosis yang efektif digunakan untuk memandulkan betina B. carambolae.
Tabel 5. Persentase penetasan telur B. carambolae pada pasangan betina radiasi yang dikawinkan dengan jantan normal dan pasangan betina normal dan jantan radiasi.

Perlakuan
Rata-rata telur B.carambolae yang menetas (%)
♀ N x ♂ N (kontrol)
96,833 d
♀ 30 Gy x ♂ N
8,580 c
♀ 60 Gy x ♂ N
1,852 ab
♀ 90 Gy x ♂ N
0 a
♀ 120 Gy x ♂ N
0 a
♀ N x ♂ 30 Gy
4,25 b
♀ N x ♂ 60 Gy
3,167 b
♀ N x ♂ 90 Gy
0 a
♀ N x ♂ 120 Gy
0 a

Ketidakmampuan telur untuk menetas pada betina lalat buah B. carambolae radiasi menurut (5) disebabkan oleh 3 faktor, yaitu ketidakmampuan kawin, infekunditas dan mutasi dominan letal. Ketidakmampuan kawin kemungkinan disebabkan karena kerusakan yang terjadi pada sel somatis sebagai akibat dari radiasi sinar gamma yang mengenai sel somatisnya. Infekunditas kemungkinan disebabkan karena kerusakan yang terjadi pada ovarium. Mutasi dominan letal kemungkinan disebabkan karena radiasi sinar gamma yang mengenai pasangan basa DNA yang terdapat pada inti sel. Kerusakan pada pasangan basa mengakibatkan mitosis terhambat sehingga dapat mengakibatkan kematian pada embrio atau letal.
Rata-rata peersentase fertilitas telur (Tabel 5) pasangan jantan B. carambolae radiasi dosis 30 Gy, 60 Gy, 90 Gy, dan 120 Gy dengan betina normal terdapat hasil yang berbeda nyata. Namun pada jantan radiasi dosis 30 Gy dan 60 Gy fertilitas telur tidak terlihat berbeda nyata, begitu juga halnya pada jantan radiasi 90 Gy dan 120 Gy tidak terlihat adanya perbedaan yang nyata terhadap fertilitas telurnya. Kemampuan telur untuk menetas menurun pada pasangan betina normal dengan jantan radiasi dosis 90 Gy, sehingga pada dosis tersebut merupakan dosis yang efektif untuk memandulkan jantan B. carambolae. Penyinaran dengan radiasi sinar gamma yang dilakukan pada stadium pupa dapat mengakibatkan kerusakan pada testes dan spermatozoa, karena pada stadium tersebut perkembangan alat reproduksinya sudah hampir sempurna. Kemungkinan tidak mampunya telur untuk menetas akibat jantan mengalami radiasi adalah ketidakmampuan kawin, aspermia, inaktivasi sperma, dan mutasi dominan letal. Radiasi gamma kemungkinan juga menyebabkan kerusakan pada sel somatis, yaitu kerusakan pada sayap. Kerusakan pada sayap mengakibatkan kemampuan terbang B. carambolae jantan berkurang sehingga dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan untuk kawin. Radiasi sinar gamma ketika mengenai testes dapat mengakibatkan tidak dihasilkannya sperma matang, sehingga lalat jantan dapat mengalami aspermia. Aspermia adalah ketidakmampuan serangga jantan dalam menghasilkan sperma. Selain itu dapat juga mengakibatkan berkurangnya kemampuan sperma untuk bergerak membuahi sel telur sehingga lalat jantan mengalami inaktivasi sperma. Radiasi sinar gamma jika mengenai inti sel kemungkinan akan menyebabkan mutasi dominan letal pada pasangan basa DNA. Mutasi dominan letal terjadi karena radiasi sinar gamma ketika mengenai sperma mengakibatkan beberapa kromosom hilang. Kromosom yang hilang mengakibatkan mitosis terhambat sehingga dapat mengakibatkan kematian pada embrio atau letal (5).

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian terhadap pemberian radiasi sinar gamma dengan dosis yang 30 Gy, 60 Gy, 90 Gy, dan 120 Gy pada stadium pupa B. carambolae menghasilkan kesimpulan sebagai berikut :
1. Radiasi sinar gamma dengan dosis yang berbeda memberi pengaruh yang berbeda nyata terhadap kemampuan kawin pada jantan radiasi, kemampuan kawin kedua kali (re-mating) pada betina radiasi dan jantan radiasi, serta terhadap fertilitas betina radiasi yang dikawinkan dengan jantan normal dan fertilitas betina normal dengan jantan radiasi.
2. Radiasi sinar gamma dengan dosis yang berbeda tidak memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap kemampuan kawin pada betina radiasi, serta terhadap fekunditas betina radisi yang dikawinkan dengan jantan normal dan fekunditas betina normal yang dikawinkan dengan jantan radiasi.
3. Semakin besar dosis radiasi yang diberikan, semakin rendah fertilitas yang dihasilkan pada pasangan betina radaisi dengan jantan normal dan betina normal dengan jantan radiasi.


DAFTAR PUSTAKA

  1. Siwi, Sri. S. 2006. Jenis-Jenis Lalat Buah Penting Di Indonesia dan Macam Tanaman Inangnya. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian. Bogor
  2. Direktorat Perlindungan Hortikultura. 2006. Panduan Lalat Buah. Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. http://www.deptan.go.id/ditlinhorti/sdm.htm. (Verified 14 September 2006).
  3. Nasution, I. A dan A. N. Kuswadi. 2005. Radiosterilisasi Lalat Buah Bactrocera carambolae (Drew dan Hancock) dan Penurunan Populasi Akibat Penglepasan Lalat Mandul. Risalah Seminar Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Aplikasi Isotop dan Radiasi. Puslitbang Teknologi dan Radiasi – BATAN. Jakarta.
  4. Kuswadi,A. N. 2004. Pengendalian Hama Dengan Teknik Nuklir Untuk Menyelamatkan Produksi Pertanian dan Menyehatkan Masyarakat Di Masa Depan. Pidato Pengukuhan Ahli Peneliti Utama. BATAN – Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi. Jakarta.
  5. Soegiarto, C. 1974. Beberapa Mekanisme Kerusakan Karena Radiasi pada Serangga Tertentu : Majalah BATAN. Jakarta.
  6. Bakri, A., K. Mehta dan D. R. Lance. 2005. Sterilizing Insects With Ionizing Radiation. Sterile Insect Technique. Principles and Practice in Area-Wide Integrated Pest Management. IAEA. Sprnger. Netherlands.
  7. Landolt, Peter. J. 2005. Mating Frequency of The Papaya Fruit Fly (Diptera : Tephritidae) With and Without Host Fruit. Insect Attractants, Behivor, and Basic Biology Reseach Laboratory, Agricultural Research service U.S. Department of Agriculture, Gainesville. http://64.233.179.104/search?q=cache:m5alNlzV6BkJ:www.fcla.edu/FlaEnt/fe77p305.pdf+mating+propensity+of+fly+fruit&hl=id. (Verified 20 Juni 2005).
  8. Fried, M. 1971. Determination of Sterile Insect Competitiveness. Journal of Economic Entomology.
  9. Calkins, C. O dan A. G. Parker. 2005. Sterile Insect Quality. Sterile Insect Technique. Principles and Practice in Area-Wide Integrated Pest Management. IAEA. Sprnger. Netherlands.
  10. Sugiarti, 1992. Pengaruh Radiasi Sinar Gamma Pada Kemandulan Ngengat F-1 Radiasi Hama Kubis Plutella xylostella. Skripsi Sarjana Sains Universitas Indonesia. Depok.
  11. Salleh, M. 1989. Serangga dan Manusia. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia. Kuala Lumpur.
  12. Hatmosoewarno, S. 1972. Sterile Male Technique Dengan Radiasi Atom untuk Mengatasi Hama Tanaman. Dalam : Teknik Jantan Mandul oleh Pemberantasan Hama. BATAN. Jakarta.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGENDALIAN HAMA LALAT BUAH PRA DAN PASCA PANEN DENGAN TEKNIK IRADIASI

LALAT BUAH BACTROCERA CARAMBOLAE (DREW & HANCOCK) DAN B. PAPAYAE (DREW & HANCOCK) DALAM BEBERAPA JENIS BUAH DI INDONESIA

PENANGGULANGAN MASALAH HAMA LALAT BUAH DI INDONESIA DENGAN TEKNIK SERANGGA MANDUL (TSM)